Beranda | Artikel
Seri Faidah Ushul Tsalatsah [9]
Kamis, 8 Desember 2016

Bismillah.

Kita berjumpa kembali dalam seri faidah dari kitab al-Ushul ats-Tsalatsah karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Berikutnya, Syaikh menjelaskan kewajiban ketiga setelah berilmu dan beramal, yaitu berdakwah. Beliau berkata, “Yang ketiga; berdakwah kepadanya.”

Hal ini menunjukkan bahwa tidaklah cukup seorang insan hanya dengan menimba ilmu dan beramal demi kepentingan dirinya sendiri lantas dia tidak berdakwah/mengajak manusia kepada agama Allah. Akan tetapi seharusnya dia juga berdakwah/mengajak orang lain kepada kebaikan agar dia bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bermanfaat bagi orang lain.

Selain itu perlu diketahui bahwasanya ilmu ini adalah amanah. Manusia membutuhkan ilmu itu. Oleh sebab itu menjadi kewajiban anda -setelah berilmu- menyampaikan ilmu, menjelaskan, dan mendakwahkannya kepada manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah mengambil ikatan perjanjian kepada orang-orang yang telah diberikan kitab itu; benar-benar hendaknya kalian jelaskan hal itu kepada manusia, dan janganlah kalian menyembunyikannya.” (Ali ‘Imran : 187). Ini adalah sebuah ikatan perjanjian yang Allah ambil pada diri para ulama untuk menjelaskan kepada manusia apa-apa yang telah Allah ajarkan kepada mereka.

Dengan begitu mereka akan ikut berperan dalam menyebarkan kebaikan. Mengeluarkan manusia dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Bahkan inilah tugas yang diemban oleh para rasul ‘alaihimus sholatu was salam beserta para pengikut setia mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju agama Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, sama sekali aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Yusuf : 108)

Inilah jalan yang ditempuh oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan orang-orang yang mengikuti beliau. Berilmu, beramal lalu berdakwah/mengajak manusia kepada agama Allah. Barangsiapa tidak berdakwah padahal dia memiliki ilmu tetapi dia justru menyembunyikannya maka pada hari kiamat nanti dia akan dibelenggu dengan belenggu dari api neraka, sebagaimana diceritakan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lantas dia justru menyembunyikannya maka Allah akan mengikat/membelenggu tubuhnya dengan belenggu/ikatan dari api neraka pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu

Referensi : Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh al-Fauzan, hal. 26-27

Tambahan Keterangan :

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa dakwah adalah amalan yang sangat mulia. Untuk itu dibutuhkan bekal dan pengetahuan yang cukup untuk bisa melaksanakannya. Banyak hal yang harus dimiliki seorang yang hendak berdakwah di jalan Allah.

Diantaranya adalah yang paling utama yaitu ketakwaan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah : 197). Takwa adalah bekal bagi setiap muslim, oleh sebab itu seorang da’i jauh lebih membutuhkan bekal ini daripada orang lain. Apa yang dimaksud dengan takwa itu?

Para ulama menjelaskan bahwa takwa itu adalah dengan anda melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, serta anda meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya takut akan hukuman Allah. Dengan demikian di dalam ketakwaan itu terpadu antara ilmu, amalan, mengharap pahala, dan takut akan hukuman Allah. Inilah yang disebut sebagai takwa.

Setelah itu, seorang da’i haruslah membekali dirinya dengan ilmu tentang apa-apa yang hendak dia dakwahkan. Yaitu ilmu yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah. Semua ilmu dan pemahaman harus diuji dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Apabila sesuai bisa diambil dan apabila tidak harus ditinggalkan. Oleh sebab itu Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit. Aku katakan ‘Rasulullah bersabda’ sementara kalian justru membantahnya dengan perkataan ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.”  

Allah berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintah/ajaran rasul itu karena mereka akan tertimpa fitnah/malapetaka atau menimpa mereka azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63). Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan fitnah di sini? Fitnah itu adalah syirik. Bisa jadi ketika orang menolak sebagian sabda beliau lantas muncul di dalam hatinya suatu bentuk kesesatan/penyimpangan sehingga hal itu membuat dirinya binasa/celaka.”

Adapun berdakwah tanpa bekal ilmu maka hal ini justru akan lebih banyak mendatangkan marabahaya dan kerusakan. Sesat dan menyesatkan. Inilah yang disebut dengan istilah jahil murokkab. Orang yang jahil murokkab ini lebih parah daripada orang yang jahil/bodoh biasa. Karena orang yang bodoh akan menahan diri sehingga tidak banyak bicara dan kebodohannya itu akan bisa hilang jika dia mau belajar. Akan tetapi orang yang jahil murokkab/sok tahu dia tidak akan mau berhenti berbicara walaupun sebenarnya dia tidak mengerti apa-apa. Inilah masalahnya. Dalam kondisi semacam ini maka dia akan menempati peran sebagai orang yang menghancurkan, dan bukan orang yang memberikan pencerahan.

Oleh sebab itu seorang yang berdakwah harus memiliki bashirah/ilmu yang nyata dalam hal materi yang akan dia dakwahkan, ilmu tentang keadaan orang yang dia dakwahi, dan ilmu tentang tata-cara yang benar dalam berdakwah. Allah berfirman (yang artinya), “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik.” (an-Nahl : 125). Seorang da’i harus berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil sikap. Hendaknya dia memikirkan dampak-dampak yang akan timbul apabila dia mengingkari suatu kemungkaran yang pada akhirnya justru memberikan dampak negatif pada dakwah.

Bekal berikutnya yang harus dimiliki oleh seorang da’i adalah kesabaran. Bersabar dalam menyebarkan dakwahnya, bersabar dalam menghadapi rintangan dan hambatan yang ada. Allah berfirman (yang artinya), “Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik itu adalah untuk orang-orang yang bertakwa.” (Huud : 49). Bahkan para nabi pun diganggu dan disakiti. Allah berfirman (yang artinya), “Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh dari kalangan para pendosa, dan cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (al-Furqan : 31)

Setiap dakwah yang menyerukan kebenaran pasti akan menghadapi gangguan dan tantangan. Oleh sebab itu setiap da’i harus bersabar. Apabila yang dia serukan adalah selaras dengan al-Kitab dan as-Sunnah hendaklah dia besabar menghadapi segala bentuk hambatan dan gangguan. Namun apabila apa yang dia serukan terbukti bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka dia harus rujuk kembali kepada kebenaran. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkan dia ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Seorang da’i yang menyerukan kebenaran harus bersabar menghadapi gangguan dan cemoohan. Allah berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka (kaumnya) berkata ‘Dia adalah tukang sihir, atau orang gila’.” (adz-Dzariyat : 52).

Para nabi pun diejek dan diberikan ancaman terhadap nyawa mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Mereka -kaum nabi Nuh- berkata, ‘Jika kamu tidak berhenti, wahai Nuh niscaya kamu benar-benar akan termasuk golongan orang yang akan dirajam/dibunuh.’.” (asy-Syu’ara’ : 116). Demikian pula penentangan yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dari kaumnya. Allah berfirman (yang artinya), “Mereka berkata, ‘Bakarlah dia, dan belalah sesembahan-sesembahan kalian, jika kalian benar-benar melakukannya’.” (al-Anbiyaa’ : 68)

Begitu pula yang dialami oleh Nabi Musa ‘alaihis salam ketika dimusuhi oleh Fir’aun. Allah berfirman menceritakan perkataan Fir’aun (yang artinya), “Biarkanlah aku, akan aku bunuh Musa dan biarlah dia berdoa kepada Rabbnya. Sesungguhnya aku khawatir karena dia akan merubah agama kalian atau menampakkan kerusakan di atas muka bumi.” (Ghafir : 26)

Demikian pula yang dialami oleh Nabi ‘Isa ‘alaihis salam yang dituduh oleh orang-orang Yahudi sebagai anak zina, dan mereka pun berusaha untuk membunuh dan menyalibnya. Akan tetapi Allah menyelamatkan nabi ‘Isa ‘alaihis salam dari kejahatan mereka. Bahkan sang penutup para rasul yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendapatkan permusuhan dan celaan yang sangat keras dari kaumnya.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka berkata ‘Wahai orang yang diturunkan kepadanya adz-Dzikr (al-Qur’an), sesungguhnya kamu ini benar-benar orang gila’.” (al-Hijr : 6). Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan mereka pun berkata, ‘Akankah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya karena seorang penyair gila’.” (ash-Shaffat : 36)

Oleh sebab itu setiap da’i harus bersabar di dalam dakwahnya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Qur’an secara bertahap, maka bersabarlah terhadap hukum/ajaran Rabbmu.” (al-Insan : 23-24). Hal ini memberikan isyarat bahwasanya setiap orang yang mendakwahkan dan membela al-Qur’an ini pasti dia akan menghadapi hal-hal yang menuntut kesabaran yang sangat besar. Teruslah dia berdakwah dan bersabar.

Sebab bukanlah yang menjadi target adalah orang-orang bisa menerima dakwah itu ketika dia masih hidup. Bahkan walaupun ketika dia sudah meninggal selama dakwahnya itu tetap bersinar dan memberikan manfaat bagi manusia maka itulah yang diharapkan. Bukanlah individu orangnya yang terpenting tetapi yang terpenting adalah dakwahnya. Apabila dakwahnya tetap lestari setelah kematiannya sesungguhnya dia adalah hidup. Kehidupan seorang da’i yang sejati bukanlah kehidupan ruh yang ada di dalam jasadnya. Akan tetapi kehidupannya yang hakiki adalah tetap terjaganya nasihat dan tersebar dakwahnya di tengah manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa bertakwa dan bersabar, sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala untuk orang-orang yang berbuat ihsan/kebaikan.” (Yusuf : 90)

Seorang yang berdakwah -selain harus berilmu dan bersabar- maka dia juga harus memiliki sifat hikmah. Hikmah itu adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan menempatkannya dengan sebaik mungkin. Bukanlah termasuk hikmah apabila anda tergesa-gesa dan menghendaki manusia bisa berubah dengan seketika. Lihatlah dakwah yang dilakukan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan dari Allah. Dakwah ini berlangsung secara bertahap dan berangsur-angsur menyesuaikan kondisi manusia. Syari’at ini pun datang secara bertahap, tidak sekaligus. Oleh sebab itu dibutuhkan nafas yang panjang di dalam dakwah. Manusia tidak bisa berubah seketika. Terimalah kebenaran yang sudah dilakukan oleh saudaramu pada hari ini dan bertahaplah bersamanya dalam kebaikan sampai pada akhirnya anda akan bisa mengentaskan dia secara penuh dari kebatilan. Manusia itu berbeda-beda, tentu tidak sama cara menghadapi orang yang jahil/benar-benar tidak tahu dengan orang yang suka membangkang.

Lihatlah bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lembut kepada seorang arab badui yang kencing di masjid. Ketika itu sebagian para sahabat sudah bertekad untuk menghardik dan mencegah perbuatan si arab badui ini. Akan tetapi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam justru melarang mereka dari hal itu. Setelah dia selesai barulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang untuk menyiram bekas air kencing badui itu dengan seember air. Setelah itu barulah beliau memanggil si arab badui dan menasihatinya. Beliau bersabda, “Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak sepantasnya untuk menjadi tempat bagi hal yang mengganggu atau kotoran. Sesungguhnya ia digunakan untuk sholat dan membaca al-Qur’an.” Dengan cara demikian orang arab badui itu pun bisa menerima nasihat ini dengan lapang dada.

Berbeda dengan kasus seorang yang melakukan perbuatan dosa. Ketika suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seorang lelaki yang mengenakan cincin dari emas. Lalu beliau pun melepas cincin orang itu dengan tangannya yang mulia. Dan beliau membuangnya ke tanah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada diantara kalian orang yang memungut bara api neraka lalu ia pasang di tangannya.” Ketika beliau sudah pergi dikatakan kepada orang tadi, “Ambillah cincinmu itu, supaya bisa kamu manfaatkan untuk keperluan lain.” Maka dia pun menjawab, “Demi Allah. Aku tidak akan mengambil sebuah cincin yang sudah dibuang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.“ Allahu akbar! Lihatlah bagaimana ketundukan dan kepatuhan yang ditunjukkan oleh para sahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in

Selain itu, seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan akhlak yang mulia. Hendaknya ilmu yang dia pelajari itu tercermin dalam keyakinan, ibadah, perilaku dan perjalanan hidupnya sehari-hari. Seringkali kita mengajak kepada sesuatu tetapi kenyataannya kita sendiri tidak melaksanakannya. Tentu saja ini adalah kekeliruan yang sangat besar. Terkadang kita sibuk mendakwahkan sesuatu sementara kita melalaikan hal-hal yang lebih penting dari itu. Setiap kondisi menuntut sikap dan ucapan yang tepat. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali berpuasa sampai-sampai dikatakan bahwa beliau tidak berbuka. Di saat lainnya beliau tidak melaksanakan puasa sampai-sampai dikatakan bahwa beliau tidak pernah puasa.

Di samping itu seorang da’i hendaklah menghilangkan sekat-sekat yang menghalangi dirinya dengan orang-orang yang dia dakwahi. Sebagian orang ketika melihat kemungkaran tidak mau lagi bergaul dan bertemu dengan para pelaku kemungkaran itu. Padahal semestinya dia berusaha untuk tetap bergaul dan menasihati mereka dengan cara yang baik. Seorang da’i juga hendaknya memiliki dada yang lapang terhadap orang yang menyelisihinya -dalam sebagian perkara- terlebih lagi jika dia mengetahui bahwa orang yang menyelisihinya itu memiliki niat yang baik. Janganlah dia jadikan perbedaan ini sebagai penyulut permusuhan dan kebencian. Kecuali apabila memang orang itu sengaja menentang kebenaran setelah jelas baginya petunjuk.

Ada perkara-perkara cabang yang bisa jadi orang berbeda pendapat dalam hal ini yang pada hakikatnya hal itu tercakup dalam keluasan yang Allah berikan bagi hamba-hamba-Nya. Yang dimaksud di sini bukanlah persoalan pokok-pokok agama yang barangsiapa menyelisihi dalam hal itu bisa sampai pada tingkatan kekafiran. Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara yang masuk dalam ranah ijtihad. Orang yang benar mendapat dua pahala, sedangkan yang salah diberi satu pahala. Meskipun demikian tetap harus diingat bahwa kewajiban orang yang berselisih adalah kembali kepada firman Allah dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh menentang ayat atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat manusia.

Ada fenomena yang menimpa sebagian da’i yang bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran dan berjuang untuknya dan fenomena ini membuat para ulama merasa prihatin; yaitu terjadinya perpecahan dan pertikaian diantara mereka. Jelas ini adalah sebuah kekeliruan. Karena umat Islam ini adalah umat yang satu. Allah perintahkan kita untuk bersatu dan melarang kita berpecah-belah. Hendaknya kita tunduk kepada bimbingan dan perintah Allah itu.

Hendaknya nasihat yang diberikan kepada saudara kita adalah untuk memperbaiki, bukan dalam rangka menjatuhkan atau membalas dendam. Sebab siapa saja yang berdebat dan membantah pihak lain tetapi dengan niat ingin menang sendiri atau merendahkan pendapat orang lain tanpa dilandasi niat tulus untuk memperbaiki niscaya perbuatannya akan membuahkan hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya. Intinya hendaklah cara untuk memperbaiki kesalahan itu ditempuh dengan niat dan metode yang tepat. Adapun mengobarkan perpecahan dan fanatisme kelompok maka hal ini justru akan membuat musuh-musuh Islam bertambah senang.

Referensi : Zaadu ad-Da’iyah ila Allah, hal. 4-28 oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/seri-faidah-ushul-tsalatsah-9/